N I K
A H M U T’ A H
Oleh:
Ardan Lelemappuji, S.HI
Secara terminologi, Asal kata mut’ah dalam bahasa
arab adalah dari akar kata mata’a, yang
mengarah pada makna bersenang-senang dan memanfaatkan.
Kamus Al Munjid menerangkan arti kata mata’: Al
Mata’, bentuk pruralnya adalah al
amti’ah, sedang bentuk jam’ul jama’nya adalah amati’ dan amatii’. Seluruh yang
dimanfaatkan dari perhiasan dunia baik sedikit maupun banyak. tamatta’a atau
istamta’a : memanfaatkan sesuatu dalam waktu yang lama. Al-Munjid hal
746
Secara Istilah, yang dimaksud dengan nikah mut’ah
adalah pernikahan yang ditentukan sampai waktu tertentu, yang mana setelah
waktu yang ditentukan habis selesailah pernikahan itu.
Imam Syafi’i berkata :Nikah mut’ah yang dilarang adalah seluruh bentuk pernikahan yang ditentukan hingga waktu tertentu, baik waktu itu sebentar maupun lama.
Abu Laits Assamarqondi berkata: Nikah mut’ah
hukumnya haram, bentuknya adalah : aku nikahkan anakku untuk waktu sehari atau
sebulan.
Imam Nawawi dalam al majmu’ syarah muhazzab
berkata : Nikah Mut’ah adalah seperti bentuk demikian : Aku nikahkan kamu
dengan anakku selama sehari atau sebulan, yaitu pernikahan yang ditentukan
hingga waktu tertentu. Jika waktu yang ditentukan telah selesai maka selesailah
pernikahan itu.
Ibnu Dhawayyan berkata:yaitu menikahkan anaknya hingga batas waktu tertentu, dan mensyaratkan bahwa setelah jangka waktu selesai maka tercerailah suami istri itu.
Dari penjelasan tentang arti nikah mut’ah di atas
dapat kita ambil kesimpulan bahwa nikah mut’ah adalah bentuk pernikahan yang
selesai bila waktu yang disepakati telah tiba. Setelah waktunya tiba, kedua
suami istri akan terpisah tanpa ada proses perceraian sebagaimana pernikahan
yang dikenal dalam Islam.
1.
Nikah Mut’ah dalam Pandangan
Ahlussunnah
Ahlussunnah wal jamaah berpendapat bahwa nikah
mut’ah pernah dihalalkan sebelum kemudian hukum halal itu mansukh dan menjadi
haram sampai hari kiamat. Dasar pijakan ahlussunnah wal jamaah adalah ayat dan
hadits sebagai berikut :
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلاً أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّامَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ
Terjemahan:
Dan barangsiapa di antara kamu
(orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka
lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang
kamu miliki.
Ibnu Katsir menerangkan ayat ini dalam tafsirnya :
Barang siapa yang belum mampu menikahi wanita
muslimah merdeka yang menjaga kesuciannya maka nikahilah budak wanita yang
beragama Islam.
Jika memang nikah mut’ah diperbolehkan pasti telah disebutkan oleh Allah sebagai alternatif bagi mereka yang tidak mampu menikah secara finansial. Sedangkan dari segi finansial nikah mut’ah tidaklah semahal pengeluaran yang ditimbulkan oleh nikah yang dikenal dalam Islam.
Jika memang nikah mut’ah diperbolehkan pasti telah disebutkan oleh Allah sebagai alternatif bagi mereka yang tidak mampu menikah secara finansial. Sedangkan dari segi finansial nikah mut’ah tidaklah semahal pengeluaran yang ditimbulkan oleh nikah yang dikenal dalam Islam.
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلاَّعَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْمَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Ibnu Katsir menerangkan makna ayat ini :
Yaitu mereka yang menjaga kemaluan mereka dari
perbuatan haram, mereka tidak melakukan perbuatan yang diharamkan Allah yaitu
perbuatan zina dan hubungan sejenis, mereka hanya menggauli istri dan budak
mereka yang mana telah dihalalkan oleh Allah bagi mereka. Barang siapa
melakukan perbuatan yang dihalalkan Allah maka dia tidak dicela lagi berdosa.
Allah menerangkan sifat orang beriman bahwa
mereka menjaga kemaluan mereka dari berzina. Namun diberikan oleh Allah jalan
keluar yaitu dengan menikah atau memiliki budak. Jika nikah mut’ah menjadi
jalan keluar yang benar pasti disebutkan oleh Allah sebagai tempat penyaluran
nafsu syahwat yang diperbolehkan di sini. Nikah mut’ah jelas berbeda dengan
pernikahan biasa dan perbudakan. Nikah mut’ah adalah bentuk pernikahan yang
selesai dengan sampai waktu yang disepakati kedua pihak. Sementara ikatan
pernikahan yang dikenal dalam Islam tidak terlepas dengan berlalunya waktu,
namun dengan perceraian. Mut’ah juga tidak sama dengan perbudakan, karena perbudakan
adalah status dimana seorang wanita menjadi milik seseorang. Perbudakan akan
terhenti dengan pemerdekaan oleh pemiliknya, bukan dengan berlalunya waktu yang
disepakati oleh kedua belah pihak.
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لاَيَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah
menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan
kurnia-Nya.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menerangkan ayat ini
sebagai berikut :
Ini adalah perintah dari Allah bagi mereka yang tidak mampu secara finansial untuk menikah supaya menjaga diri dari perbuatan haram seperti sabda Nabi : wahai sekalian pemuda, barang siapa yang telah mampu bagi kalian hendaknya menikah, karena menikah akan menjaga pandangan dan kemaluan. Barang siapa belum mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena dengan puasa itu akan menjaga nafsunya.
Ini adalah perintah dari Allah bagi mereka yang tidak mampu secara finansial untuk menikah supaya menjaga diri dari perbuatan haram seperti sabda Nabi : wahai sekalian pemuda, barang siapa yang telah mampu bagi kalian hendaknya menikah, karena menikah akan menjaga pandangan dan kemaluan. Barang siapa belum mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena dengan puasa itu akan menjaga nafsunya.
Ayat ini adalah petunjuk dari Allah bagi mereka
yang belum mampu menikah, untuk bersabar dan menjaga diri agar tidak terjerumus
ke perbuatan haram. Jika mut’ah adalah jalan keluar bagi mereka yang tidak
mampu melaksanakan pernikahan seperti yang dikenal dalam Islam, tentunya Allah
sudah menjelaskan hal itu dalam Al Qur’an. Yaitu dengan penjelasan bahwa bagi
mereka yang tidak mampu menikah maka dia hendaknya melakukan mut’ah. Namun yang
ada di sini adalah bila tidak mampu menikah maka tidak ada jalan lain kecuali
bersabar dan berpuasa, seperti petunjuk Nabi di atas.
Berikut hadits-hadits yang menjadi dasar pengharaman mut’ah.
Berikut hadits-hadits yang menjadi dasar pengharaman mut’ah.
أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ
لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ
Ali Ra berkata kepada Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi saw melarang mut’ah dan
makan daging keledai jinak pada perang khaibar.عَنْ إِيَاسِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
.
الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
Dari Rabi’ bin Saburah Al Juhani bahwa ayahnya
bercerita padanya bahwa dia bersama Nabi saw lalu beliau bersabda : Wahai
manusia sesungguhny aku telah mengijinkan kalian untuk nikah mut’ah, dan Allah
telah mengharamkannya hingga hari kiamat nanti. Barang siapa sedang nikah
mut’ah maka hendaknya pisah dengan istrinya dan jangan kalian ambil apa yang
telah kalian berikan pada mereka.
Jadi pernyataan bahwa nikah mut’ah adalah haram
adalah langsung dari Nabi, yang diriwayatkan dari banyak jalan periwayatan.
Dalam pembahasan ini tidak semua riwayat kami cantumkan.
Riwayat-riwayat di atas membuat kita bertanya-tanya mengenai masa diharamkannya nikah mut’ah. Mengapa ada dua riwayat yang menerangkan perbedaan waktu pengharaman nikah mut’ah? Imam Nawawi telah menjelaskan dalam penjelasan Sohih Muslim bahwa :
Yang benar adalah pengharaman terjadi dua kali. Nikah mut’ah hukumnya halal sebelum perang khaibar kemudian diharamkan pada perang khaibar. Lalu diijinkan lagi untuk bermut’ah pada masa fathu makkah yaitu pada perang autas, karena perang autas terjadi setelah fathu makkah langsung, lalu setelah 3 hari kemudian diharamkan hingga hari kiamat.
Riwayat-riwayat di atas membuat kita bertanya-tanya mengenai masa diharamkannya nikah mut’ah. Mengapa ada dua riwayat yang menerangkan perbedaan waktu pengharaman nikah mut’ah? Imam Nawawi telah menjelaskan dalam penjelasan Sohih Muslim bahwa :
Yang benar adalah pengharaman terjadi dua kali. Nikah mut’ah hukumnya halal sebelum perang khaibar kemudian diharamkan pada perang khaibar. Lalu diijinkan lagi untuk bermut’ah pada masa fathu makkah yaitu pada perang autas, karena perang autas terjadi setelah fathu makkah langsung, lalu setelah 3 hari kemudian diharamkan hingga hari kiamat.
Namun ada riwayat lain dalam kitab sohih muslim
yang menerangkan bahwa hingga zaman khalifah Umar bin Khattab masih ada saja beberapa
gelintir sahabat yang melakukan mut’ah. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi
karena sahabat yang melakukan nikah mut’ah itu belum mendengar keputusan
perubahan hukum nikah mut’ah dari halal menjadi haram. Di antaranya adalah
Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan bahwa dia mendengar pengharaman mut’ah
dari Umar bin Khattab yang saat itu menjadi khalifah.
عَنْ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ كُنَّا نَسْتَمْتِعُ بِالْقَبْضَةِ مِنْ التَّمْرِ وَالدَّقِيقِ الْأَيَّامَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ حَتَّى نَهَى عَنْهُ عُمَرُ فِي شَأْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ
Mungkin timbul pertanyaan, mengapa Imam Muslim
mencantumkan riwayat yang membolehkan dan riwayat yang melarang? Apakah hal itu
tidak bisa disebut sebagai kontradiksi antara riwayat yang membolehkan dan
riwayat yang melarang? Jawabnya adalah bahwa hal itu merupakan nasakh yang mana
hukum yang membolehkan diperbaharui dengan hukum yang melarang. Hal ini lumrah
terjadi dalam nas-nas syar’i, di mana sebuah hukum menasakh hukum lain yang
terdahulu. Namun hal ini dapat membuat keraguan bagi mereka yang tidak melihat
hadits dengan lengkap, dia hanya melihat hadits riwayat Jabir di atas sehingga
menimbulkan kesan bahwa yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar, bukannya
Nabi. Pertanyaan itu tidak akan terlontar dari mereka yang melihat seluruh
riwayat yang tercantum dalam pembahasan mut’ah. Merupakan metode penulisan
hadits yang dianut oleh Imam Muslim dalam penyusunan kitab sohih Muslim, di
mana beliau menyebutkan hadits yang membolehkan sesuatu perbuatan lalu diikuti
dengan hadits yang menasakh dan memperbaharui hukumnya.
Dalam penjelasan hadits pengharaman mut’ah yang
terdapat dalam sohih Muslim di atas, Imam Nawawi mengatakan : Al Maziri berkata
nikah mut’ah dibolehkan pada masa permulaan Islam, lalu hukumnya mansukh dan
menjadi haram seperti disebutkan dalam hadits-hadits di atas, dan pengharaman
itu menjadi ijma’ seluruh ulama. Tidak ada yang menyelisihi kesepakatan ini
kecuali sebagian ahlul bid’ah yang mendasarkan pendapatnya dengan hadits-hadits
yang memperbolehkan nikah mut’ah. Namun hadits-hadits pegangan mereka itu telah
mansukh, seperti yang kita terangkan di atas.
Imam Nawawi dalam halaman lain menukil dari Qodhi ‘Iyadh : Qodhi ‘Iyad berkata : para ulama telah sepakat bahwa nikah mut’ah adalah pernikahan yang ditentukan hingga batas waktu tertentu dan tidak menyebabkan suami atau istri menerima warisan ketika istri atau suaminya meninggal. Jika sudah sampai batas waktu yang ditentukan maka pernikahan antara keduanya telah selesai dan mereka berdua terpisah tanpa adanya proses talak.
Abu Laits Assamarqondi berkata: Nikah mut’ah
hukumnya haram, bentuknya adalah : aku nikahkan anakku untuk waktu sehari atau
sebulan Imam Assarakhsy salah seorang ulama mazhab hanafi mengatakan : Telah
sampai pada kami bahwa Rasulullah mengijinkan para sahabat untuk nikah mut’ah
selama 3 hari dalam sebuah peperangan di mana para sahabat kesusahan karena
jauh dari istri-istri mereka. Setelah itu Nabi melarangnya kembali.
Demikianlah perkataan ulama yang menukilkan kesepakatan bahwa nikah mut’ah
adalah haram, mengikuti ayat-ayat dan hadits-hadits yang sebelumnya dipaparkan.2. Nikah mut’ah dalam pandangan syi’ah imamiyah.
Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa hukum nikah mut’ah adalah tetap diperbolehkan dan tidak pernah mansukh. Jadi masih diperbolehkan hingga kelak hari kiamat. Syiah Imamiyah berdalil dengan ucapan Imam mereka yaitu Abu Ja’far, yang nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali Al Baqir :
عِدَّةٌ
مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ وَ عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ
أَبِيهِ جَمِيعاً عَنِ ابْنِ أَبِي نَجْرَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ حُمَيْدٍ عَنْ
أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) عَنِ
الْمُتْعَةِ فَقَالَ نَزَلَتْ فِي الْقُرْآنِ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ
مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَ لا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيما
تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ .
Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada
Abu Ja’far Alaihissalam tentang mut’ah. Lalu dia menjawab : Allah telah
mewahyukan dalam Al Qur’an Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,[65]
(footnote : syiah memahami ayat ini bukan dalam
kontek istri, jika ayat ini difahami dengan kontek istri tentu tidak dapat
dijadikan dalil bagi diperbolehkannya nikah mut’ah)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَقُولُ كَانَ عَلِيٌّ ( عليه السلام ) يَقُولُ لَوْ لَا مَا سَبَقَنِي بِهِ بَنِي الْخَطَّابِ مَا زَنَى إِلَّا شَقِيٌّ .
عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَمَّنْ ذَكَرَهُ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ إِنَّمَا نَزَلَتْ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً .
Dari Ibnu Abi Umair dari seseorang yang telah
memberitahunya, dari Abu Abdullah dia berkata : Ayat yang sebenarnya turun dari
Allah adalah ” Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara
mereka hingga waktu tertentu, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban,
عَلِيٌّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ
أُذَيْنَةَ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَيْرٍ اللَّيْثِيُّ
إِلَى أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) فَقَالَ لَهُ مَا تَقُولُ فِي مُتْعَةِ
النِّسَاءِ فَقَالَ أَحَلَّهَا اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ
( صلى الله عليه وآله ) فَهِيَ حَلَالٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَقَالَ يَا
أَبَا جَعْفَرٍ مِثْلُكَ يَقُولُ هَذَا وَ قَدْ حَرَّمَهَا عُمَرُ وَ نَهَى
عَنْهَا فَقَالَ وَ إِنْ كَانَ فَعَلَ قَالَ إِنِّي أُعِيذُكَ بِاللَّهِ مِنْ
ذَلِكَ أَنْ تُحِلَّ شَيْئاً حَرَّمَهُ عُمَرُ قَالَ فَقَالَ لَهُ فَأَنْتَ عَلَى
قَوْلِ صَاحِبِكَ وَ أَنَا عَلَى قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله )
فَهَلُمَّ أُلَاعِنْكَ أَنَّ الْقَوْلَ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه
وآله ) وَ أَنَّ الْبَاطِلَ مَا قَالَ صَاحِبُكَ قَالَ فَأَقْبَلَ عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ عُمَيْرٍ فَقَالَ يَسُرُّكَ أَنَّ نِسَاءَكَ وَ بَنَاتِكَ وَ أَخَوَاتِكَ وَ
بَنَاتِ عَمِّكَ يَفْعَلْنَ قَالَ فَأَعْرَضَ عَنْهُ أَبُو جَعْفَرٍ ( عليه السلام
) حِينَ ذَكَرَ نِسَاءَهُ وَ بَنَاتِ عَمِّه
Dari Zurarah dia berkata : Abdullah bin Umair
Allaithy pada Abu Ja’far, lalu dia bertanya : apa pendapat anda tentang nikah
mut’ah? Lalu Abu Ja’far menjawab : telah dihalalkan oleh Allah dalam Al Qur’an
dan melalui lisan RasulNya, maka hukumnya tetap halal hingga hari kiamat. Lalu
dia bertanya : Wahai Abu Ja’far apakah orang seperti anda mengatakan hal ini
sedangkan umar telah melarang dan mengharamkan mut’ah? Lalu Abu Ja’far mengatakan
: walaupun telah dilarang oleh Umar. Dia berkata : Aku memohon pada Allah agar
anda dijauhkan dari menghalalkan perkara yang telah diharamkan oleh Umar. Lalu
Abu Ja”far berkata : engkau memegang pendapat kawanmu, dan aku memegang hadits
Nabi, mari kita memohon laknat dari Allah bahwa yang benar adalah apa yang
diucapkan Rasulullah dan omongan kawanmu adalah batil. Lalu Abu Umair
mengatakan pada Abu Ja’far : Apakah anda suka jika istri anda, anak wanita
anda, saudara wanita anda dan anak wanita paman anda dinikahi secara mut’ah?
Lalu Abu Ja’far berpaling ketika disebut istrinya dan anak pamannya.
Nikah mut’ah adalah halal tapi Imam Abu Ja’far
sendiri tidak senang jika ada orang yang menikahi anaknya atau anak pamannya
dengan nikah mut’ah. Yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar, yang
berani-beraninya mengharamkan perbuatan yang dihalalkan oleh Nabi. Sampai Imam
Abu Ja’far berani bermula’anah, memohon laknat dari Allah jika pendapatnya
salah.
Ahlussunnah sepakat bahwa nikah mut’ah haram hukumnya, maka tidak akan anda temukan dalam kitab fiqih ulama ahlussunnah mana pun penjelasan tentang cara-cara mut’ah dan pekara-perkara yang berkaitan dengan mut’ah. Karena keyakinan syi’ah Imamiyah atas dibolehkannya mut’ah, maka dalam kitab-kitab mereka tercantum penjelasan mengenai nikah mut’ah. Berikut ini kami paparkan sebagian penjelasan yang ada dalam kitab-kitab ulama syiah megenai mut’ah.
1. Nikah Mut’ah adalah bukan pernikahan yang membatasi istri hanya empat.Ahlussunnah sepakat bahwa nikah mut’ah haram hukumnya, maka tidak akan anda temukan dalam kitab fiqih ulama ahlussunnah mana pun penjelasan tentang cara-cara mut’ah dan pekara-perkara yang berkaitan dengan mut’ah. Karena keyakinan syi’ah Imamiyah atas dibolehkannya mut’ah, maka dalam kitab-kitab mereka tercantum penjelasan mengenai nikah mut’ah. Berikut ini kami paparkan sebagian penjelasan yang ada dalam kitab-kitab ulama syiah megenai mut’ah.
الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ
الْأَشْعَرِيِّ عَنْ بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْأَزْدِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا
الْحَسَنِ ( عليه السلام ) عَنِ الْمُتْعَةِ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ لَا
[69].
Dari Abubakar bin Muhammad Al Azdi dia berkata :aku bertanya kepada Abu
Hasan tentang mut’ah, apakah termasuk dalam pernikahan yang membatasi 4 istri?
Dia menjawab tidak.Wanita yang dinikahi secara mut’ah adalah wanita sewaan, jadi diperbolehkan nikah mut’ah walaupun dengan 1000 wanita sekaligus, karena akad mut’ah bukanlah pernikahan. Jika memang pernikahan maka dibatasi hanya dengan 4 istri.
الْحُسَيْنُ
بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ سَعْدَانَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ
عُبَيْدِ بْنِ زُرَارَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام )
قَالَ ذَكَرْتُ لَهُ الْمُتْعَةَ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ تَزَوَّجْ
مِنْهُنَّ أَلْفاً فَإِنَّهُنَّ مُسْتَأْجَرَاتٌ
Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, aku
bertanya tentang mut’ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan
yang membatasi 4 istri? Jawabnya : menikahlah dengan seribu wanita, karena
wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan
2. Syarat Utama Nikah Mut’ah
Dalam nikah mut’ah yang terpenting adalah waktu
dan mahar. Jika keduanya telah disebutkan dalam akad, maka sahlah akad mut’ah
mereka berdua. Karena seperti yang akan dijelaskan kemudian bahwa hubungan
pernikahan mut’ah berakhir dengan selesainya waktu yang disepakati. Jika waktu
tidak disepakati maka tidak akan memiliki perbedaan dengan pernikahan yang
lazim dikenal dalam Islam
- عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ
زِيَادٍ وَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ جَمِيعاً عَنِ
ابْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ جَمِيلِ بْنِ صَالِحٍ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ
اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ لَا تَكُونُ مُتْعَةٌ إِلَّا بِأَمْرَيْنِ أَجَلٍ
مُسَمًّى وَ أَجْرٍ مُسَمًّى
Dari Zurarah bahwa Abu Abdullah berkata : Nikah
mut’ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan
bayaran tertentu.
3. Batas minimal mahar mut’ahDi atas disebutkan bahwa rukun akad mut’ah adalah adanya kesepakatan atas waktu dan mahar. Berapa batas minimal mahar nikah mut’ah?
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَلِيِّ
بْنِ الْحَكَمِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ
سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنْ أَدْنَى مَهْرِ الْمُتْعَةِ
مَا هُوَ قَالَ كَفٌّ مِنْ طَعَامٍ دَقِيقٍ أَوْ سَوِيقٍ أَوْ تَمْرٍ .[72]
الكافي ج 5 ص 457
الكافي ج 5 ص 457
Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada
Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut’ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal
mahar mut’ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum atau korma.
4. Tidak ada talak dalam mut’ah
dalam nikah mut’ah tidak dikenal istilah talak,
karena seperti di atas telah diterangkan bahwa nikah mut’ah bukanlah pernikahan
yang lazim dikenal dalam Islam. Jika hubungan pernikahan yang lazim dilakukan
dalam Islam selesai dengan beberapa hal dan salah satunya adalah talak, maka
hubungan nikah mut’ah selesai dengan berlalunya waktu yang telah disepakati
bersama. Seperti diketahui dalam riwayat di atas, kesepakatan atas jangka waktu
mut’ah adalah salah satu rukun/elemen penting dalam mut’ah selain kesepakatan
atas mahar.
3- مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ
مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ ابْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ عِدَّةُ
الْمُتْعَةِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى أَبِي
جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَعْقِدُ بِيَدِهِ خَمْسَةً وَ أَرْبَعِينَ فَإِذَا
جَازَ الْأَجَلُ كَانَتْ فُرْقَةٌ بِغَيْرِ طَلَاقٍ
Dari Zurarah dia berkata masa iddah bagi wanita
yang mut’ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan
tangannya tanda 45, jika selesai waktu yang disepakati maka mereka berdua
terpisah tanpa adanya talak.
5. Jangka waktu minimal mut’ah.
Dalam nikah mut’ah tidak ada batas minimal
mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut’ah. Jadi boleh saja bersepakat
nikah mut’ah dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk
sekali hubungan suami istri.
عَنْ خَلَفِ بْنِ حَمَّادٍ قَالَ أَرْسَلْتُ إِلَى أَبِي الْحَسَنِ ( عليه
السلام ) كَمْ أَدْنَى أَجَلِ الْمُتْعَةِ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَمَتَّعَ
الرَّجُلُ بِشَرْطِ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ قَالَ نَعَمْ .
Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus
seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu
mut’ah? Apakah diperbolehkan mut’ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali
hubungan suami istri? Jawabnya : ya
Orang yang melakukan nikah mut’ah diperbolehkan
melakukan apa saja layaknya suami istri dalam pernikahan yang lazim dikenal
dalam Islam, sampai habis waktu yang disepakati. Jika waktu yang disepakati
telah habis, mereka berdua tidak menjadi suami istri lagi, alias bukan mahram
yang haram dipandang, disentuh dan lain sebagainya. Bagaimana jika terjadi
kesepakatan mut’ah atas sekali hubungan suami istri? Yang mana setelah
berhubungan layaknya suami istri mereka sudah bukan suami istri lagi, yang mana
berlaku hukum hubungan pria wanita yang bukan mahram? Tentunya diperlukan waktu
untuk berbenah sebelum keduanya pergi.
ع أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنِ الرَّجُلِ يَتَزَوَّجُ
الْمَرْأَةَ عَلَى عَرْدٍ وَاحِدٍ فَقَالَ لَا بَأْسَ وَ لَكِنْ إِذَا فَرَغَ
فَلْيُحَوِّلْ وَجْهَهُ وَ لَا يَنْظُرْ
Dari Abu Abdillah, ditanya tentang orang nikah
mut’ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya : ” tidak
mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan
tidak melihat pasangannya”.
Diperbolehkan nikah mut’ah dengan seorang wanita
berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana jika
seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain dulu
sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama. Hal ini seperti
diterangkan oleh Abu Ja’far, Imam Syiah yang ke empat, karena wanita mut’ah
bukannya istri, tapi wanita sewaan. Disini dipergunakan analogi sewaan, yang
mana seseorang diperbolehkan menyewa sesuatu dan mengembalikannya lalu menyewa
lagi dan mengembalikannya berulang kali tanpa batas.
عَلِيُّ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ بَعْضِ
أَصْحَابِنَا عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ
لَهُ جُعِلْتُ فِدَاكَ الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمُتْعَةَ وَ يَنْقَضِي شَرْطُهَا
ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ آخَرُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا الْأَوَّلُ
حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثَلَاثاً وَ تَزَوَّجَتْ ثَلَاثَةَ أَزْوَاجٍ يَحِلُّ
لِلْأَوَّلِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا قَالَ نَعَمْ كَمْ شَاءَ لَيْسَ هَذِهِ مِثْلَ
الْحُرَّةِ هَذِهِ مُسْتَأْجَرَةٌ وَ هِيَ بِمَنْزِلَةِ الْإِمَاءِ
Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja’far,
seorang laki-laki nikah mut’ah dengan seorang wanita dan habis masa mut’ahnya
lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut’ahnya, lalu nikah
mut’ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut’ahnya tiga kali
dan nikah mut’ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan
laki-laki pertama? Jawab Abu Ja’far : ya dibolehkan menikah mut’ah berapa kali
sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut’ah
adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya.
7. Wanita mut’ah diberi mahar sesuai jumlah hari yang disepakati.
Wanita yang dinikah mut’ah mendapatkan bagian
maharnya sesuai dengan hari yang disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi
maka boleh menahan maharnya.
292
292
3- عَنْ عُمَرَ بْنِ حَنْظَلَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ أَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ شَهْراً فَأَحْبِسُ عَنْهَا شَيْئاً قَالَ نَعَمْ خُذْ مِنْهَا بِقَدْرِ مَا تُخْلِفُكَ إِنْ كَانَ نِصْفَ شَهْرٍ فَالنِّصْفَ وَ إِنْ كَانَ ثُلُثاً فَالثُّلُثَ
Dari Umar bin Handholah dia bertanya pada Abu
Abdullah : aku nikah mut’ah dengan seorang wanita selama sebulan lalu aku tidak
memberinya sebagian dari mahar, jawabnya : ya, ambillah mahar bagian yang dia
tidak datang, jika setengah bulan maka ambillah setengah mahar, jika sepertiga
bulan maka ambillah sepertiga maharnya
8. Jika ternyata wanita yang dimut’ah telah
bersuami ataupun seorang pelacur, maka mut’ah tidak terputus dengan sendirinya.
Jika seorang pria hendak melamar seorang wanita
untuk menikah mut’ah dan bertanya tentang statusnya, maka harus percaya pada
pengakuan wanita itu. Jika ternyata wanita itu berbohong, dengan mengatakan
bahwa dia adalah gadis tapi ternyata telah bersuami maka menjadi tanggung jawab
wanita tadi.
1- عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ
لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ
( عليه السلام ) إِنِّي أَكُونُ فِي بَعْضِ الطُّرُقَاتِ
فَأَرَى الْمَرْأَةَ الْحَسْنَاءَ وَ لَا آمَنُ أَنْ تَكُونَ ذَاتَ بَعْلٍ أَوْ
مِنَ الْعَوَاهِرِ قَالَ لَيْسَ هَذَا عَلَيْكَ إِنَّمَا عَلَيْكَ أَنْ
تُصَدِّقَهَا فِي نَفْسِهَا
Dari Aban bin Taghlab berkata: aku bertanya pada
Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik
dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau pelacur. Jawabnya: ini
bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.
Ayatollah Ali Al Sistani berkata :
Masalah 260 : dianjurkan nikah mut’ah dengan
wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia
bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya
tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut’ah bukanlah
syarat sahnya nikah mut’ah.
9. Nikah mut’ah dengan gadis
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ وَ عَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ
مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ زِيَادِ بْنِ أَبِي
الْحَلَّالِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَقُولُ
لَا بَأْسَ بِأَنْ يَتَمَتَّعَ بِالْبِكْرِ مَا لَمْ يُفْضِ إِلَيْهَا مَخَافَةَ
كَرَاهِيَةِ الْعَيْبِ عَلَى أَهْلِهَا
Dari ziyad bin abil halal berkata : aku mendengar
Abu Abdullah berkata tidak mengapa bermut’ah dengan seorang gadis selama tidak
menggaulinya di qubulnya, supaya tidak mendatangkan aib bagi keluarganya.
10. Nikah mut’ah dengan pelacur
Diperbolehkan nikah mut’ah walaupun dengan wanita
pelacur. Sedangkan kita telah mengetahui di atas bahwa wanita yang dinikah
mut’ah adalah wanita sewaan. Jika boleh menyewa wanita baik-baik tentunya
diperbolehkan juga menyewa wanita yang memang pekerjaannya adalah menyewakan
dirinya.
Ayatollah Udhma Ali Al Sistani mengatakan :
Masalah 261 : diperbolehkan menikah mut’ah dengan
pelacur walaupun tidak dianjurkan, ya jika wanita itu dikenal sebagai pezina
maka sebaiknya tidak menikah mut’ah dengan wanita itu sampai dia bertaubat.[81]
11. Pahala yang dijanjikan bagi nikah mut’ah
عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ ع قال: قُلْتُ لَهُ: (لِلْمُتَمَتِّعِ ثَوَابٌ؟
قَالَ: إِنْ كَانَ يُرِيْدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ تَعَالىَ وَخِلاَفًا عَلىَ مَنْ
أَنْكَرَهَا لَمْ يُكَلِّمْهَا كَلِمَةً إِلاَّ كَتَبَ اللهُ تَعَالىَ لَهُ بِهَا
حَسَنَةً، وَلَمْ يَمُدْ يَدَهُ إِلَيْهَا إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لهُ حَسَنَةً،
فَإِذَا دَنَا مِنْهَا غَفَرَ اللهُ تَعَالَى لَهُ بِذَلِكَ ذَنْبًا، فَإِذَا
اغْتَسَلَ غَفَرَ اللهُ لَهُ بِقَدْرِ مَا مَرَّ مِنَ الْمَاءِ عَلىَ شَعْرِهِ،
قُلْتُ: بِعَدَدِ الشَّعْرِ؟ قَالَ: نَعَمْ بِعَدَدِ الشَّعْرِ
Dari Sholeh bin Uqbah, dari ayahnya, aku bertanya
pada Abu Abdullah, apakah orang yang bermut’ah mendapat pahala? Jawabnya : jika
karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu, maka setiap
lelaki itu berbicara padanya pasti Allah menuliskan kebaikan sebagai
balasannya, setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu pasti diberi
pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya pasti Allah mengampuni sebuah dosa
sebagai balasannya, jika dia mandi maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak
jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi. Aku bertanya :
sebanyak jumlah rambut? Jawabnya : Ya, sebanyak jumlah rambut.
وَقَالَ
أَبُوْجَعْفَرٍ ع: ( إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ آلِهِ لَمَّا اُسْرِيَ بِهِ إِلىَ السَّمَاءِ قَالَ: لَحِقَنِيْ جِبْرِئِيْل
عليه السلام فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُوْلُ:
إِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِلْمُتَمَتِّعِيْنَ مِنَ أُمَّتِكَ مِنَ النِّسَاءِ
Abu Ja’far berkata “ketika Nabi sedang isra’ ke
langit berkata : Jibril menyusulku dan berkata : wahai Muhammad, Allah
berfirman : Sungguh Aku telah mengampuni wanita ummatmu yang mut’ah
11. hubungan warisanAyatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 : Nikah mut’ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini.
12. Nafkah
Wanita yang dinikah mut’ah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami.
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut’ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut’ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut’ah atau akad lain yang mengikat
Wanita yang dinikah mut’ah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami.
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut’ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut’ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut’ah atau akad lain yang mengikat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar